Nge-Ransel Ke Sukabumi (Mengejar Sunrise Situ Gunung, Menikmati Percikan Curug Sawer)



Bulan Mei lalu, di tengah kegundahan hati. Saya memutuskan untuk melakukan perjalanan mandiri (baca: sendiri). Niat hati ingin ke Banyuwangi, apalah daya diri ini hanya mampu mendarat di Sukabumi. Niat hati ingin berangkat pagi apalah daya kebiasaan buruk masih belum bisa teratasi. Alhasil saya baru bisa bergerak dari terminal Leuwi Panjang, Bandung sekitar pukul 8 pagi. Sebenarnya saya sudah mengabarkan kepada salah seorang sahabat saya yang tinggal di Sukabumi mengenai keinginan hati saya untuk sekedar menghibur diri di kotanya. Namun apalah daya, dia tidak bisa  menemani. Awalnya sempat ragu meneruskan niat, namun akhirnya saya berNekad untuk menjelajah Sukabumi seorang diri.


Karena sahabat saya sudah tidak bisa dihubungi sejak jauh-jauh hari. Alhasil, segala petunjuk arah, tempat wisata dan kendaraan yang harus saya tumpangi semuanya hanya bermodalkan bertanya sama si Mbah Google. Awalnya menurut petunjuk, saya diarahkan untuk menggunakan bus MGI dari terminal Leuwi Panjang yang fasilitas dan kenyamanan nya cukup oke dengan tarif Rp 35.000,-. Namun apalah daya karena dipaksa mamang-mamang kernet di terminal, saya sudah tidak menunggu-nunggu kedatangan bus yang saya tunggu. Akhirnya diri ini berlabuh dengan maskapai Hiba Putra kelas ekonomi dengan tarif Rp 25.000,-. Tapi ya.. fasilitasnya sudah jelas ekonomis, tanpa AC dan keberadaan market mobile (baca: pedagang asongan) yang tidak dapat dihindari.   Okelah, tidak apa-apa saya berhasil ngirit Rp 10.000 dari biaya transportasi berangkat yang sudah saya siapkan (nilai +). Perjalan Bandung-Sukabumi diperkirakan sekitar 3 jam perjalanan, namun karena ada perbaikan jalan di daerah Padalarang akhirnya saya baru bisa landing di Sukabumi sekitar pukul 12.30 WIB. Saya bener-bener tidak tahu tempat dimana saya harus turun ketika sampai di Sukabumi. Ketika bus sudah mulai memasuki kota Sukabumi, satu per satu penumpang sudah mulai turun. Saya berusaha menggali informasi sama si Mbah dimana tepatnya saya harus turun, namun informasi yang akurat tidak kunjung saya temukan. Akhirnya saya putuskan untuk berhenti di perhentian terakhir bus ini. Dan benar saja, bus yang saya tumpangi berhenti di salah satu terminal yang saya ngga tahu apa nama terminalnya. Seluruh penumpang turun, saya pun ikut turun.

Bermodal nasehat dari salah seorang teman saya,

"Kalo berkunjung ke salah satu kota, temukan dulu Masjid Agung nya, temukan dulu Alun-alun nya". 

Dengan keadaan sedikit luntang-lantung tak tahu arah, saya putuskan untuk nongkrong dulu di salah satu kedai jus sambil tanya-tanya si Mbah dimana letak Masjid Agung Sukabumi. Ternyata terminal bus ini terletak di jalan Sudirman. Sedangkan Majid Agung Sukabumi terletak di jalan Ahmad Yani, sekitar 300 meter dari posisi saya. Saya putuskan untuk berjalan kaki kesana, selain karena tidak tahu kendaraan apa yang harus saya tumpangi, sekalian untuk menikmati tentramnya kota Sukabumi. Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya dari kejauhan saya sudah bisa melihat kubah besar masjid. Horrrayyyyyyyy :))


Siluet kubah Masjid Agung Sukabumi

Akhirnya sampai lah saya di Masjid Agung Sukabumi. Terlihat empat menara kembar tinggi menjulang, dengan sebuah kubah besar berwarna  emas. Dari seberang Masjid Agung pun kita bisa melihat penampakan Gereja Sudang Kristus yang bersebrangan tepat dengan Masjid Agung. Masjid ini diresmikan tanggal 12 Mei 2013 oleh Walikota Sukabumi dan Gubernur Jawa Barat setelah melakukan pemugaran besar-besaran. Penampakannya jauh berbeda memang jika dibandingkan dengan Masjid Agung kota Bandung. Tapi pas lah menurut saya untuk kota mungil seperti Sukabumi ini. Oiya, tapi jangan salah.. biar kata kotanya mungil tapi Kabupaten Sukabumi merupakan kabupaten terluas kedua di Pulau Jawa setelah Banyuwangi. Duh, banyuwangi.. keinginan hati yang tak kunjung terlampaui.. :'(

Alun-alun di pelataran Masjid Agung Sukabumi


Oiya, mengenai Alun-alun Sukabumi. Pelataran masjid, atau halaman Masjid Agungnya itu sudah termasuk Alun-alunnya ya.. jadi, cukuplah ini yang bisa saya temukan. Oke, sekarang waktu nya berpikir keras. Mau kemana saya setelah menemukan Sang Pusat Kota Sukabumi.

Sambil ditemani semangkuk bakso seharga Rp 10.000,- saya mencoba berbincang dengan si mamang penjual bakso. Bertanya tempat wisata mana yang terdekat dari sini. Beliau mengarahkan saya untuk ke Taman Rekreasi Selabintana. Tetapi niat saya ke Sukabumi sebenarnya ingin menuju ke Ciletuh Geopark. Setelah tanya sana sini plus info dari mamang bakso ternyata untuk menuju kesana dibutuhkan waktu sampai 5 jam perjalan menggunakan mobil elf. Karena letaknya yang berada di Kabupaten Sukabumi. Memang rata-rata tempat wisata di Sukabumi itu wisata alam. Dan hampir rata-rata terletak di Kabupaten. Pupus sudah niat saya, nyali saya belum sampai sana. Perjalanan seorang diri, buta lokasi dan jarak tempuh yang cukup jauh menciutkan nyali saya. Waktu sudah menunjukan pukul 14:00 WIB. Saya sudah tidak punya banyak waktu untuk menuju lokasi wisata yang jauh. Hari sudah mulai sore. Setelah tanya berbagai macam sumber akhirnya saya menemukan juga tempat wisata yang ingin saya tuju.

Menikmati sunrise di tepian Situ Gunung dengan pemandangan Gunung Gede dan Gunung Pangrango!!!
Yeayyyyyyy!!!

Sunrise?? Iya.. sunrise. Waktu sudah sore, berarti saya cuman bisa liat sunrise?? Besok pagi. Niat hati mau numpang bermalam di rumat sahabat, alhasil saya harus cari tempat lain untuk bermalam. Tidak ada orang lain lagi yang saya kenal di kota ini. Akhirnya saya memutuskan untuk mencari penginapan murah meriah. Setelah wawancara Si Mbah, akhirnya dia mengarahkan saya untuk menuju ke arah Jalan Bhayangkara. Disana banyak penginapan hotel melati murah meriah. Target saya hotel batu putih dengan tarif Rp 75.000/malam. Untuk menuju kesana saya harus berjalan ke arah timur pusat kota terlebih dahulu untuk menemukan angkutan umum ke arah jalan Bhayangkara. Sambil menyusuri jalan sekitaran pusat kota, ternyata oh ternyata saya menemukan tempat yang seru juga!! Taman Merdeka.

Ternyata inilah tempat yang digunakan sebagai pusat keramain oleh warga Sukabumi. Memang saya agak sedikit bingung juga ketika melihat alun-alunnya karena tidak seramai alun-alun di kota lain. Selain biasa digunakan untuk upacara dan acara-acara resmi oleh pemerintah Sukabumi, lapangan ini juga digunakan warga untuk bersosialisasi dan berolahraga. Selain lapangan luas disini juga terdapat track lari, skate park, lapangan voli dan lapangan basket. Suasana sore hari ramai sekali orang-orang yang berolah raga.


Taman Kota Lapang Merdeka


Skate Parknya Taman Merdeka
Lapangan Volinya Taman Merdeka
Lari-lari sambil giring bola


Setelah foto-foto dan ngelamum di lapang merdeka kurang lebih satu setengah jam. Akhirnya saya memutuskan meneruskan perjalanan menggunakan angkot putih jurusan Bhayangkara. Saya lupa lagi angkot nomor berapa, yang jelas warna putih, hehe. Tarif angkot Rp 4.000 sampai di jalan Bhayangkara. Tapi ternyata.. hotel Batu Putih yang saya tuju sudah tidak lagi beroperasi alias tutup. Waduh. Saya memutuskan untuk berjalan beberapa meter dari Hotel Btu Putih. Dan alhamdulillah.. ketemulah satu hotel. Namanya Hotel Mustika, dan ternyata tarif kamar termurah yang berhasil saya dapat seharga Rp 100.000. Tak apalah, dari pada tak jelas arah dan tujuan. Malam harinya saya berharap bisa jalan-jalan di daerah sekitaran hotel. Sekedar beburu kuliner atau apalah. Tapi nyatanya, saya tidak berhasil menemukan hal yang unik-unik disekitaran hotel. Di malam hari ternyata penerangan jalan di sekitar Bhayangkara tidak terlalu oke. Alhasil saya cuman bisa meredam keroncongan dengan sepiring nasi goreng seharga Rp 13.000. Okelah akhirnya malam itu saya memutuskan untuk mager di kamar hotel.

Karena saya sudah berniat mengejar sunrise di Situ Gunung, saya berencana untuk check out hotel sekitar pukul 3 dini hari. Karena jarak tempuh masih lumayan juga untuk menuju ke situ gunung yang lokasinya berada di kaki gunung Gede Pangrango.

Karena saya bukan tipe orang yang bisa nyenyak tidur selain di kamar sendiri, jadi bukan hal yang susah untuk saya bangun jam 2 pagi tanpa ada orang yang membangunkan. Setelah selesai mandi dan packing, saya pun check out dari hotel sekitar pukul 3 dini hari. Semalam saya sempat bertanya kepada resepsionis hotel mengenai kendaraaan umum yang beroperasi disini, beliau bilang angkot disini beroperasi 24 jam. Kalo dari jalan Bhayangkara ke situ gunung naik angkot dulu menuju perempatan degung. Tapi setelah check out dari hotel dan melihat keadaan jalan raya.. O Ow.. keadaan jalan masih gelap gulita dan sampai beberapa menit lamanya saya tidak menemukan satu pun kendaraan umum. Hanya ada beberapa kendaraan pribadi yang melintas. Pengennya sih saya masuk hotel lagi, tapi kan saya udah check out :(. Saya pun berjalan kaki beberapa meter dari arah hotel, berharap tidak lama lagi saya bisa menemukan angkutan umum untuk menuju ke situ gunung. Akhirnya saya bertemu dengan seorang bapak, dan ternyata beliau tukang ojek.

"Sendiri aja neng, mau kemana?", sambil sedikit takut saya jawab "Mau ke situ gunung, pak!, kesana naik angkot apa ya?"
"Wah kalo jam segini sih mana ada angkot neng, ini masih malem.."
"Bapak ojek kan? Bisa anter saya kesana?"
"Wah.. masih jauh banget itu neng. Lagian saya juga ngga berani kalo harus nganter sampai atas"

*waduh mamang ojek aja ngga berani, apa kabar gue?

"Paling saya bisa anternya sampai Alun-alun Cisaat, nanti setelah agak siangan neng naik angkot aja ke atasnya"

Akhirnya kami sepakat dengan tarif Rp 15.000 dari jalan bhayangkara menuju Cisaat.
Dalam perjalan si bapak pun berlanjut ngajak ngobrol,
"Neng dari mana emang?"
"Dari Bandung pak"
"Waduh kok jauh banget, sendirian malem-malem. Ngga sama temennya emang?"
"Iya sama temen pak, cuman kita janjian langsung di situ gunung nya" #bohong
"Waduh neng.. khawatir loh jam segini, masih malem sendirian, dari bandung pula. Bapak mah khawatir, sekarang ini lagi rawan. Disini lagi ngga aman karena sering ada begal. Oiya temennya udah sampai mana? Kasian kalo neng nya harus nunggu sendirian disana, bahaya!"
*duh
"Masih di jalan katanya pak" #bohonglagi

Akhirnya sampai lah kami di Alun-alun Cisaat,
"Bapak turunin disini aja ya, di depan ada kantor polisi. Insya Allah aman kalo ada apa-apa. Ini ada warung, kalo ada apa-apa minta tolong sama ibu nya ya" sambil menunjuk sebuah kios kaki lima.
"Neng istirahat dulu aja di teras masjid, jangan naik jam segini tunggu agak siangan baru berangkat. Naik angkotnya keseberang sana yah. Jam segini belum ada angkot kan. Nanti ada angkot merah, neng naik itu nanti. Hati-hati ya neng.."
"Iya pak, hatur nuhun pisan.."

Pelajarannya, jangan nekat berangkat jam segitu kayak saya cuman demi mengejar sunrise kalo lokasi kita masih jauh dari lokasi. Karena kendaraan umum di Sukabumi ternyata tidak beropersi 24 jam. Pilihan paling aman untuk mengejar sunrise, yaitu dengan ngecamp atau sewa penginapan di sekitar lokasi wisata. Bisa aja sih berangkat jam segitu, asal ngga sendirian, asal ada kendaraan pribadi. Beruntung saya masih ketemu orang baik.. apa jadinya kalo shubuh kala itu saya ngga ketemu bapak ojek yang kebetulan lagi lewat. Kalo keadaan tidak memungkinkan, plisss deh jangan nekat!!

Penampakan Alun-alun Cisaat di shubuh hari

Kurang lebih saya menunggu selama satu jam di pelataran masjid, adzan shubuh sudah berkumandang, masjid mulai ramai. Saya membeli sarapan bubur di sekitaran Alun-alun Cissat. Bubur ayam nya uenakkkkk banget. Toping nya komplit, dan yang unik krupuk nya itu pakai emping. Ternyata hampir semua tukang bubur yang ada disekitar Alun-alun Cisaat itu salah satu pelengkap khasnya memang emping. Saya kira harganya lebih mahal dari pada bubur ayam yang biasa saya makan. Tapi ternyata harganya cuman Rp 7.000. Huhuuuuuu ~

Menuju pangkalan angkot Kadudampit


Setelah pagi mulai terang, saya berjalan menuju pangkalan angkot kadudampit, naik angkot berwarna merah. Sepanjang perjalanan saya ditemani warga sekitar yang pulang berbelanja dari pasar. Sepertinya cuman saya turis lokal satu-satunya dalam angkot yang berangkat sepagi ini.
Ternyata angkot yang saya tumpangi ini tidak selalu mengantar penumpang sampai lokasi wisata. Tapi bisa request untuk diantar sampai lokasi tujuan. Saya membayar tarif angkot sebesar Rp 10.000, ternyata jarak dari alun-alun cisaat sampai ke gerbang lokasi wisata Gunung Gede Pangrango National Park ini cukup jauh, dengan jalan yang sangat menanjak. *namanya juga gunung :))

Pos Awal lokasi wisata Taman Nasional Gunung Gede Pangrango


Sesampainya disana saya membeli tiket masuk lokasi Wisata Gunung Gede Pangrango National Park seharga Rp 18.500. Ternyata ada dua objek wisata disini, situ gunung dan curug sawer. Disini juga terdapat Camping Ground loh namanya "Tanakita". Camping disini cukup mahal, harganya sampai ratusan ribu. Ya, ada harga ada barang lah, karena katanya fasilitasnya cukup lengkap dan mewah. Ga perlu takut kelaparan dan kesusahan cari toilet. Ini bisa jadi alternatif yang sangat tepat untuk kalian yang berkantong tebal dan berniat mengejar sunrise. Dijamin aman. Maaf saya ngga bisa jelasin lebih lanjut, karena saya sama sekali ngga nyicipin camping di Tanakita, ngintip pun engga, hehee. Saya memutuskan untuk menuju tujuan utama dulu, Situ Gunung. Masih berniat mengejar sunrise. Sunrise aja ku kejar, apalagi kamu!! #eakkkkkk

Akses jalan menuju Situ Gunung


Akses jalan menuju situ gunung cukup bagus, dan jalannya lebar. Fasilitas disini cukup baik, terlihat dari lampu penerangan yang cukup di sepanjang jalan. Jalanannya cukup gelap karena rimbun pepohonan besar. Butuh waktu kurang lebih setengah jam untuk menuju lokasi. Oiya, disini juga ada fasilitas ojek yg bisa mengantar kita sampai lokasi dari gerbang masuk. Tapi saya ngga tau tarifnya karena saya memutuskan untuk jalan kaki biar backpacker banget. Sepanjang jalan beberapa meter saya jarang nemuin orang. Agak serem juga sih, jalan di hutan sendirian. Ya karena ini masih kepagian. Ternyata tidak banyak orang yang melakukan pilihan perjalanan kayak saya. Pikir saya pagi-pagi sudah rame karena banyak yang punya niat kaya saya, tapi ternyata engga. Tiga puluh menit berlalu, setelah menuruni jalan bertangga akhirnya saya bisa melihat pemandangan layaknya kain putih raksasa membentang luas. Saya kira itu kain apa, ternyata itu dia penampakan Situ Gunung, yang merefleksikan cahaya matahari. Dari atas terlihat seperti kain putih membentang indahhhhhhh banget :)

Berada di ketinggian kurang lebih 850 mdpl. Suasana segar langsung menyambut. Kicauan burung, deretan hutan pinus dan tentunya the one and only. Sunrise :)

Sambutan awal pemangdangan Situ Gunung

Sejukkkkkkkkkkk!!!
Ini dia yang saya kejar-kejar!!
Rombongan fotografer sibuk mengabadikan moment
Mas-mas nya lagi motret
Perahu bebek bersanding di tepian situ

Banyak fotografer yang tengah mengabadikan moment ketika saya datang. Moment bagi saya melihat banyak dari mereka berjejer di tepian danau yang sedang mengabadikan moment seorang nelayan tengah membentangkan jala di danau. Setelah mencharge mata dan hati dengan melamun ditepian danau selama kurang lebih satu setengah jam. Saya pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke lokasi selanjutnya. Yaitu Curug Sawer!!!

Menempuh perjalan setengah jam untuk kembali ke pos awal. Duduk santai sambil menikmati air mineral. Hari sudah mulai siang, sudah banyak pengunjung yang berdatangan. Beberapa bus pariwisata dan kendaraan pribadi mulai memenuhi area parkir. Awalnya ketika banyak rombongan wisatawan yang menuju curug sawer saya mau ikut ngebuntutin mereka dari belakang, biar ngga terlalu terasa sendirian. Tapi masih lelah pikir saya, saya pun istirahat untuk beberapa saat. Saya lihat sekitar sudah tidak ada lagi wisatawan yang menuju kesana. Saya pun memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan. Beberapa meter dari start awal menuju curug sawer, tiba-tiba ada seorang bapak-bapak yang berteriak dari arah belakang saya,

"Neng, tong sok sosoranganan!!"
("Neng, jangan suka sendirian!!")

Intinya sih melarang saya untuk jangan pergi seorang diri. Langkah saya langsung terhenti pada saat itu. Saya langsung berpikir, "Waduh, kenapa nih emang? Ah tapi masa iya ngga jadi, gengsi dong. Lagian juga udah tanggung jalan. Udah jauh-jauh ke Sukabumi cuman dapet segini doang. Kan sayang..!"
Tanpa menoleh ke arah belakang, saya pun malah melanjutkan perjalanan, hehe.

Beberapa menit perjalanan saya dari pos awal, suasana perjalanan pun mulai terasa berbeda. Kondisi jalan yang saya lalui untuk menuju Curug Sawer terasa sangat berbeda dibandingkan perjalanan saya saat menuju Situ Gunung. Jalanannya semakin menyempit, kontur jalan berbatu dan licin. Sepanjang perjalanan saya ditemani beragam bunyi-bunyian serangga dan terlihat beberapa ekor monyet bergelantungan di dahan pohon.

Akses jalan menuju Curug Sawer. Ini belum jauh dari pos awal, kondisi jalannya masih sehat.


Selama kurang lebih satu jam perjalanan saya tidak berpapasan dengan satu orang pun. Sebenanrnya dari menit-menit awal saya sadar akan kondisi jalan dan suasana perjalanan yang sepi, sempat terpikir dalam hati saya untuk kembali ke pos awal dan tidak melanjutkan perjalanan. Mungkin ini yang dikhawatirkan bapak tadi kalo saya pergi seorang diri. Tapi dasar kenekatan saya, saya malah melanjutkan perjalanan. Kalo soal nyali dengan alam lain saya bukan tipe orang yang paranoid, tapi saya lebih takut kalau-kalau di jalan saya bertemu dengan orang jahat atau tiba-tiba diterkam monyet di tengah hutan. Sumpah!! Saya lebih takut itu.

Tidak banyak foto yang dapat saya abadikan, karena menghindari kemungkinan buruk, Jadi saya ngga terlalu berani untuk mengeluarkan HP. Dan lagi berpikir kalo saya kembali ke pos awal saya juga tidak tahu apakah jarak dari tempat saya ke pos awal lebih dekat dibandingkan jarak saya menuju lokasi Curug Sawer atau tidak. Akhrinya dengan segala tekad dan nekad saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Semakin lama jalan yang dilalui semakin berat. Jalan semakin menyempit dan menurun, belum lagi harus menuruni tangga akar pohon. Beberapa kali saya beringsut-ingsut karena harus merosot saat menuruni jalan seorang diri karena tidak ada pegangan. Tidak ada pegangan :'(

Setelah kurang lebih satu setengah jam perjalanan akhirnya terdengarlah suara deras khas air terjun. Sampai lah saya di lokasi wisata Curug Sawer. Agak sedikit heran ketika melihat kondisi lokasi yang begitu ramai wisatawan padahal sepanjang perjalanan saya hanya berpapasan dengan beberapa orang saja. #janganparno

Sejenak melepas lelah sambil menikmati pemandangan alam curug sawer.

Curug sawer memiliki ketinggian 25-30 meter

Tidak berlama-lama saya menikmati percikan Curug Sawer karena cuaca sudah mulai mendung. Saya memutuskan untuk meninggalkan lokasi karena khawatir perjalan pulang akan lebih sulit. Sebenarnya ada alternatif jalur lain yang bisa kita lalui untuk perjalanan pulang dari Curug Sawer untuk menuju pos awal. Beberapa tukang ojek menawarkan jasanya kepada saya dengan tarif Rp 30.000.  Karena secara jarak katanya memang lebih jauh dari pada jalur yang saya lalui dengan berjalan kaki. Memang ada sedikit kekhawatiran karena jalur pulang yang akan saya lalui pasti akan terasa lebih berat dibandingkan saat perjalanan pergi. Namun saya tetap betekad dan nekad untuk berjalan kaki kembali seorang diri.

Dan benar saja perjalanan terasa lebih berat. Kalau saat perjalanan pergi kontur jalan menurun, sekarang sebaliknya. Namun kondisi jalan tidak sesepi pada saat perjalanan pergi. Hari sudah mulai siang, dan pengunjung sudah semakin ramai. Setelah kurang lebih satu jam lebih akhirnya saya bisa kembali ke pos awal dalam keadaan sehat wal afiat.

Sesampainya saya di pos, angkot merah untuk menuju ke kota sudah bertengger. Tanpa berpikir panjang, saya langsung bertolak dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Sesampainya kembali di Alun-alun Cisaat, saya naik angkot untuk menuju terminal. Di angkot saya teringat dengan pesanan salah seorang sahabat saya yang sudah lama ngidam oleh-oleh khas Sukabumi Mochi "Lampion". Setelah tanya-tanya si mba Google ternyata letaknya tidak jauh dari hotel tempat saya menginap semalam, masih terletak di jalan Bhayangkara. Beruntunglah angkot yang tumpangi ternyata melewati jalan Bhayangkara.

Meski harus jalan beberapa puluh meter lagi, akhirnya saya bisa menemukan lokasi toko Mochi "Lampion". Bangunan khas tionghoa dan interiornya mendominasi suasana toko. Mochi "Lampion" tidak membuka cabang dimana pun, ini toko satu-satunya. Jika mau mendapatkan produk yang asli tentunya hanya bisa didapatkan disini. Saya membeli dua kotak mochi original seharga Rp 35.000/kotak isi 50pcs.

Saya berjalan beberapa meter dari toko lampion. Bus yang akan saya gunakan untuk pulang ternyata sudah dapat saya temui dan tidak usah menuju ke terminal. Tetapi lagi lagi saya tidak berjodoh dengan MGI, akhirnya kembali saya menggunakan maskapai Hiba Putra dengan tarif yang sama.



Berikut pengeluaran saya saat Nge-Ransel ke Sukabumi,







































































Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer