Rona Nusantara: Sepatu Untuk Anak-Anak Cidaun (Part 1)
Rintik hujan basah-basah lembut menyambut kami di siang itu. Beberapa rombongan ojek menyambut kami. Dengan sigap dan insiatif mereka membantu kami menurunkan barang-barang kami dari dalam mobil. Beberapa dus amunisi bantuan dan perlengkapan shooting seperti kamera dan kawan-kawannya mereka turunkan dengan sangat hati-hati. Masing-masing dari kami menaiki setiap ojek yang datang dengan kanan kiri dan tengah badan kami sebisa mungkin menggenggam barang bawaan kami satu per satu. Butuh keseimbangan ekstra. Jalanan setapak berbatu yang dibasahi hujan tak luput kami lalui. Tak kuasa rasanya membayang jika kami tergelincir, mungkin lutut saya yang akan mencium sudut-sudut batu ini terlebih dahulu, sambil menutup rapat-rapat bibir karena rasa tegang. Beberapa meter perjalanan tampak aliran sungai besar yang begitu deras. Tampak jembatan keropos di atas sungai itu, ah apakah kami harus melewati jembatan itu dengan motor?? Muka saya seketika memucat. Tapi untunglah, ternyata kami menggunakan rakit untuk melalui sungai ini. Beberapa motor segera menaiki rakit, kami harus bersegera. Kalau tidak debit air sungai akan segera meluap.
Selepas sungai kami lalui, kemudian kontur jalan yang kami lalui semakin menanjak, jalanan semakin berkelok, hanya ada jalan setapak beraspal yg dapat kami lalui. Rumah-rumah panggung sesekali satu sama lain nampak berjauhan, sulit untuk dikatakan bertetangga. Namun disisi sebelah sana beberapa rumah saling berdekatan bahkan saling mengapit satu sama lain. Beberap warga nampak begitu memperhatikan rombongan ojek yang melewati. Bertaburan senyuman ramah, berasal dari pintu-pintu rumah menyambut kami begitu ramah yang bukan siapa-siapa. Beberapa anak melambaikan tangannya kepada kami sambil jingkrak-jingkrak kegirangan. Seolah telah mengenal kami sebelumnya.
Mereka memang telah mengenal sebagian kawan-kawan saya, terkecuali diri saya sendiri. Kali kedua kami menyambangi Kp. Panyindangan, Ds. Cidaun, Cianjur Selatan, Jawa Barat. Dalam program Rona Nusantara.
Sampailah kami pada sebuah madrasah di kampung itu. Madrasah Riyadush Shalihin, binaan ustadz Midun.
Hidangan warga yang tak henti-hentinya menjamu kami, menjamin keberlangsungan hidup kami selama bermukim disana. Panggung yang mereka bangun di depan mushola untuk mengadakan pengajian malam harinya demi menyambut kedatangan kami. Seolah-olah kami ini bak pahlawan yang telah lama ditunggu dengan penuh harap di kampung mereka. Ah, malu.. rasanya. Memangnya apa yang saya dan kawan-kawan bawa untuk mereka..
Sejak tahun 80an, menurut aparat setempat belum pernah sekalipun pemerintah daerah menengok keadaan kampung mereka, sekelas camat sekalipun. Namun ketidakpedulian itu malah menempa warga Kp. Panyindangan terpecut untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Sebagian besar warga menggarap ladangnya, mulai dari bertani padi, lada, hingga menebang batang pohon albasiah dan menjualnya. Tapi tak sedikit pula warga yang berhijrah untuk menjadi TKW. Sebagian besar anak-anak mereka tinggalkan bersama anggota keluarga lainnya. Itulah mengapa, anak-anak disini selepas pulang sekolah menghabiskan waktunya untuk mengaji di madrasah hingga larut malam. Jauh sekali dari teknologi seperti hal nya anak-anak di kota. Seringkali listrik padam di kampung ini. Bisa enam kali dalam sehari. Entah, mengapa. Sampai-sampai anak-anak disini sudah lihai berjalan di kegelap gulitaan selepas pulang mengaji.
Jarak dari kampung mereka ke sekolah SD berjarak satu kilometer. Sedangkan SMP perlu mereka tempuh satu kilometer lagi. Setiap hari, jarak sudah tidak lagi mereka rasa.
Pada hari kedua, salah seorang teman saya bertanya.
"Semalam tidur dimana?"
Karena teman-teman saya yang laki-laki bermalam di madrasah. Sedangkan kami yang perempuan tidur di rumah keluarga pak Ustadz.
"Tidur disebelah mananya?", tanya nya lagi.
"Di kamar, tuh disitu", sambil saya menujuk jendela kamar dari luar rumah.
Teman saya kaget, "Terus Pak ustadz dan keluarga tidur dimana??"
Saya baru tahu, ternyata kamar yang kami pakai tidur adalah satu-satunya kamar di rumah itu..
Saya belum sempat mejelajah rumah panggung itu, karena kami masuk lewat pintu dapur. Dan kamar yang kami tinggali itu pun memang berada di dalam dapur. Tak menyangka jika pak ustadz sekeluarga rela tidur beralaskan tikar demi memuliakan tamunya.
Jembatan Gantung Akses menuju Kp. Panyindangan Yang Telah Lama Keropos |
Sepeda Motor Dapat Melintas Menggunakan Rakit |
Sambutan Warga Kp. Panyindangan |
Aktivitas Mengaji Anak-anak Kp. Panyindangan Sepulang Sekolah Di Madrasah |
***
30 September 2016
Tulisan yang tertahan sejak 2 tahun yang lalu
Komentar
Posting Komentar